IMAN
Di sebuah kampung kecil bernama Tepi Sungai, hiduplah seorang pemuda bernama Iman. Ia dikenal sebagai sosok yang cerdas dan berbakat, namun kehidupannya tidak selalu berjalan mudah. Ayahnya seorang petani, sementara ibunya menjahit untuk membantu ekonomi keluarga. Meskipun hidup dalam keterbatasan, Iman selalu memiliki mimpi besar: ia ingin menuntut ilmu setinggi mungkin dan membawa perubahan bagi kampungnya.
Pada suatu hari, Iman menerima surat yang mengubah hidupnya. Beasiswa untuk melanjutkan studi di luar negeri telah diterima. Ini adalah kesempatan langka, impian yang sudah lama ia perjuangkan. Dengan pendidikan ini, Iman bisa membantu keluarganya keluar dari kemiskinan, bahkan membangun kampungnya menjadi lebih maju.
Namun, di hari yang sama, datang pula sebuah kabar yang membuat hati Iman bimbang. Sungai yang menjadi sumber penghidupan utama bagi kampungnya mulai tercemar. Limbah dari kota sebelah masuk ke aliran sungai, merusak ikan dan tanaman warga. Para tetua kampung dan warga lainnya cemas, karena mereka menggantungkan hidup dari sungai itu. Jika masalah ini tidak segera diselesaikan, masa depan kampung berada dalam bahaya.
Malam itu, Iman duduk termenung di tepi sungai. Di satu sisi, ia sangat ingin menerima beasiswa itu dan melanjutkan mimpinya. Tapi di sisi lain, hatinya terusik melihat masalah besar yang dihadapi oleh kampungnya. Ia tahu, jika tidak ada yang bertindak sekarang, banyak keluarga akan kehilangan mata pencaharian mereka.
“Iman, kamu orang terpelajar di sini. Kamu yang bisa membantu kami. Kami tidak tahu harus berbuat apa,” kata Pak Rahman, tetua kampung, di pagi hari setelah mendengar kabar tentang pencemaran sungai.
Iman terdiam. Ia tahu, harapan orang-orang kampung kini berada di pundaknya. Dalam hatinya, ia sadar bahwa ini bukan hanya tentang dirinya atau masa depannya, melainkan tentang nasib orang banyak.
Sore itu, Iman mengambil keputusan yang berat. Ia memutuskan untuk menunda keberangkatannya ke luar negeri. “Sungai ini adalah sumber hidup kita. Aku harus membantu kalian menemukan solusinya terlebih dahulu,” katanya kepada Pak Rahman dan para tetua.
Dengan tekad yang kuat, Iman mulai bergerak. Ia menghubungi beberapa kenalannya di kota untuk membantu menyelidiki penyebab pencemaran. Ia juga mengorganisir warga kampung untuk melakukan pembersihan sungai, walaupun itu hanya solusi sementara. Selama berminggu-minggu, Iman terus berusaha, berkonsultasi dengan para ahli, dan bahkan mendatangi pemerintah kota untuk meminta pertanggungjawaban. Semua itu dilakukan tanpa pamrih, dengan satu tujuan: menyelamatkan kampungnya.
Perjuangan Iman tidak sia-sia. Setelah berbulan-bulan, upayanya membuahkan hasil. Pemerintah setempat setuju untuk memasang alat penyaring limbah di sungai. Selain itu, kampung Tepi Sungai juga mendapatkan bantuan teknologi pertanian untuk membantu warga yang terdampak.
Masyarakat kampung merasa sangat berterima kasih atas apa yang telah dilakukan Iman. Mereka tahu bahwa Iman telah mengorbankan mimpinya demi kebaikan bersama. Namun, Iman tidak merasa kehilangan. Ia justru merasakan kebahagiaan yang berbeda. Baginya, melihat kampungnya kembali hidup adalah kebahagiaan yang jauh lebih besar daripada mimpinya sendiri.
Beberapa bulan setelah masalah sungai terselesaikan, Iman mendapatkan kabar baik. Beasiswa yang dulu ia tunda ternyata masih tersedia untuknya. Namun kini, ia pergi dengan perasaan yang lebih lega. Meninggalkan kampung dengan keyakinan bahwa ia telah memberikan sesuatu yang berarti.
Ketika Iman bersiap untuk berangkat, Pak Rahman berkata, “Iman, kami akan selalu mengingat pengorbananmu. Kau telah mendahulukan kami, dan itu menunjukkan betapa besarnya hatimu.”
Iman hanya tersenyum. Ia tahu, keputusan itu tidak mudah, namun ia yakin telah mengambil langkah yang tepat. Mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi bukanlah kelemahan, melainkan cerminan dari akhlak mulia yang diajarkan Rasulullah.
Dan Iman, dengan segenap hatinya, menjalankan ajaran itu.